Cerita malam ini, berdiskusi lagi dengan seorang sahabat. Kali ini tentang cinta, diskusi ini berawal ketika aku sedang asik bermain dengan lepi dan terdengar cletukan “apakah cinta itu tanpa alasan Ma?” sebuah pertanyaan yang membuatku sedikit tersenyum memikirkannya. Dan kini tanpa instruksi aku jawab “tidak mungkin mencintai tanpa alasan, yang pernah aku dengar mencintai tanpa syarat”. Jawaban sekenannya dariku sembari membaca beberapa status facebook teman-teman.
Ini kisah antara laki-laki (Al) dan seorang
perempuan (Fa), berawal dari smsan antara Al dan Fa. Satu bulan adalah waktu
yang cukup untuk memahami karakteristik orang, apalagi dengan intensitas sms
yang tidak wajar, akan jauh lebih mengenal lawan bicaranya. Sampai suatu saat
terjadi obrolan ringan melalui sms “bagaimana kalau aku datang melamarmu?”
begitulah sms dari Al. Sedangkan si Fa sedang gundah dengan masalahnya, ia
mempunyai prinsip untuk menyelesaikan studynya dulu baru berfikir menikah, tapi
lingkungannya selalu membicarakan hal-hal yang berbau cinta dan pernikahan.
Dengan intensitas komunikasi antara Al dan Fa
membuat Fa bingung haruskah dia menentang prinsipnya yang telah ia bangun,
namun Fa tahu kalau Al hanya bermain-main dengan kata-katanya. Tak dipungkiri
sepertinya Fa larut dalam permainan Al meskipun Fa sudah tahu akan hal itu
sehingga dia tidak ingin lebih berlarut lagi dalam komunikasi. Ketika membuka
face book, Fa berusaha menahan diri untuk tidak chatting dengan Al. Namun kali ini
Al yang mengawali percakapan.
“bagaimana kabarnya?” suatu pertanyaan klasik
yang terlihat hanya basa-basi belaka, namun bagi orang yang sedang merasakan
manisnya warna merah jambu, pertanyaan itu ibarat hujan perhatian yang tak
diharapkan reda.. (agak lebay).
“fisikly sehat” jawab Fa sekenannya, namun dia
belum memikirkan dampak dari pertanyaannya
“fisikly
sehat bearti lainnya tidak sehat?” ternyata Al pandai membaca situasi untuk
pembicaraan lebih lanjut. Secara singkat mereka larut dalam obrolan yang hanya
mereka berdua dan Allah yang tahu pembicaraannya. Sampai pada diskusi tentang
kepantasan bagi seorang wanita untuk mengungkapkan perasaan terlebih dahulu
pada seorang laki-laki.
“aku heran dengan para kawat” tulis Al
“kawat? Apa itu?” tanya Fa tak faham
“kawat itu akhwat jahil yang gampang
megungkakan perasaan ke ikhwan. Aku sudah sering menerima ungkapan itu. Tapi mereka
habis ngungkapin terus pergi begitu saja..” jelas Al
“Kamu sih yang memberikan harapan ke mereka”
“aku hanya bikin mereka tertawa” sanggah Al.
Subhanallah, luar biasa sekali melihat tingkah
si Al, sampai dia membuat istilah “kawat”
dalam kamusnya. Ini tidak menutup kemungkinan ada juga ikhwan jahil seperti
kawat yang disebut Al.
Aku hanya ingin menasehati diriku sendiri. Mungkin
hari ini kita mendengarkan kisah itu dari orang lain, tidak menutup kemungkinan
suatu saat kita menjadi aktor dalam kisah itu. Dari sekedar sms, chatting,
telfon, ngegombal, dsb. Yang awalnya mungkin kita merasa itu tidak harus
dilakukan, bahkan harus di hindari. Namun ketika syaiton mulai menggoda, dengan
dhoif nya kita sebagai manusia maka semua itu bisa menjadi hal yang wajar. Namun
jika kita yakin Allah telah menuliskan sesuatu yang jauh lebih indah untuk
kita, maka pegang teguhlah itu sebagai benteng hatimu.
Sepenggal kisah diatas mungkin kita anggap
remeh, namun tak jarang dari beberapa orang mungkin tersenyum, entah mungkin
pernah merasakan hal yang sama atau mungkin sekarang sedang merasakannya. Berhati-hatilah
untuk masalah satu ini, apalagi untuk seorang wanita. Jangan mudah percaya
dengan perkataan manis yang mungkin itu keluar dari alam bawah sadar nya dan
dorongan dari syaiton untuk menggoda. Jadilah akwat yang cerdas, bukan hanya menerima
dengan hati tapi juga dengan ilmu.
'Yaa
Muqallibal Quluub, Tsabbit Qalbi ‘Ala Diinik'
Artinya:
“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu.”
[HR.Tirmidzi
3522, Ahmad 4/302, al-Hakim 1/525, Lihat Shohih Sunan Tirmidzi III no.2792]
Surabaya, 30 Oktober 2012
Siti Rohmawatin
0 comments:
Post a Comment